Inspira

Inspirasi dan refleksi untuk integritas diri

Jumat, 09 Desember 2011

Kota yang Bersahabat



Mungkin Anda pernah mendengar cerita tentang pengalaman beberapa orang yang ‘bingung’ atau terkaget-kaget kala bertandang, entah itu berwisata atau untuk urusan bisnis di negeri orang.


Ada cerita seorang Indonesia yang terheran-heran saat berada di Los Angeles, California, AS. “Ketika saya menghentikan bus, kok bus-nya tidak mau berhenti?” tanyanya. Dalam benak orang Indonesia itu, kalau di Jakarta bisa menghentikan bus di mana saja. Dan dengan ‘baik hati’ sang sopir bus akan segera menghentikan kendaraannya. Tapi di LA ini ternyata berbeda. Si Sopir bus malah mengacungkan tangannya seraya menunjuk ke arah lain. Betapa malu-nya orang Indonesia itu. Ternyata, naik bus saja di LA ada aturannya. Dan itu harus ditaati jika kita tak mau ditinggal oleh bus yang akan kita naiki.
Lain lagi cerita orang Indonesia yang tengah jalan-jalan di sebuah mal yang ada di Tokyo, Jepang. Dengan penuh kegembiraan, orang Indonesia itu naik eskalator yang tidak digunakan oleh pengunjung lain. Pikirnya, daripada tidak dipakai! Belakangan diketahui, eskalator tersebut diperuntukkan bagi mereka yang ingin berjalan terburu-buru. Pantes sepi….! Banyak cerita unik dan menarik yang akan kita dapat saat jalan-jalan di negeri orang. Seperti di Singapura, Kuala Lumpur, dan beberapa kota lain yang lebih beradab.
            Kota yang lebih beradab? Duh, lalu bagaimana dengan kota kita sendiri? Bagaimana dengan Jakarta, sebagai ibukota negeri ini? Sudah patutkah disebut sebagai kota yang beradab seperti kota-kota besar lainnya di dunia?
Malu juga, mengaku sebagai warga kota tapi perbuatannya tidak mencerminkan sebagai orang kota; pengamen, pengemis, pengasong, bebas ‘mejeng’ di tengah jalan raya, banyak dari kita yang buang sampah di sembarang tempat, naik bus tidak pada tempatnya, merokok di sembarang tempat, menerobos antrian atau parkir di sembarang tempat; menyogok polisi, dan sebagainya.
Jangankan bicara tentang pariwisata, tentang keinginan menjaring turis dari negeri tetangga singgah ke Jakarta. Anda sendiri pun mungkin akan geleng-geleng kepala sambil mengelus dada, jika berjalan-jalan ‘menikmati’ hiruk pikuk dan semrawutnya Jakarta dan seisinya.
Harus diakui, kita memang perlu banyak belajar menjadi warga kota yang bijak, terdidik, disiplin, bertanggung jawab, dan ramah. Menjadi warga kota yang bijak, sesungguhnya mudah, tetapi ini butuh proses yang sangat panjang. Bila belajar dari Singapura, Tokyo, Los Angeles, dan kota-kota dunia lain yang beradab, para pemimpinnya memiliki cara-cara yang berbeda, namun mempunyai satu tujuan yakni bagaimana menjadikan setiap individu menjadi warga kota yang bijak.
Menurut Kevin Lynch, arsitek MIT yang melakukan riset “Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Kota” di empat kota dunia pada tahun 1971, bahwa “anak-anak mengharapkan kotanya mempunyai lingkungan fisik dan sosial yang kuat, kotanya mempunyai aturan dan dijalankan secara tegas, dan kotanya menjadi pusat pendidikan untuk mengetahui dunianya”. Hasil penelitian Lynch yang kemudian menjadi acuan Unicef dan UNHABITAT dalam memperkenalkan kosep Child Friendly City Initiative, suatu konsep yang bertujuan untuk menjadikan kota ramah terhadap anak. Artinya, anak sebagai warga kota, suaranya mewarnai dalam proses pembuatan kebijakan, program, pelaksanaan, dan pemantauan.
Di Indonesia konsep ini diadaptasi menjadi “Konsep Kota/Kabupaten Layak Anak” yang tertuang dalam Rencana PembangunanNasional  Jangka Menengah 2010-2014 yang akan direncanakan terimplementasi di 100 kabupaten/kota pada tahun 2014. Kita tidak pernah menyangka bahwa “Pendapat Anak Mengenai Kota” yang diungkap oleh Lynch membawa perubahan di berbagai kota yang ada dibelahan dunia. Sebut saja Singapura. Lee Kwan Yew, semasa menjabat sebagai Perdana Menteri Singapura mengawali pembangunan Kota Singapura berfokus pada anak. Beliau beralasan bahwa “Memberi tahu sesuatu pada anak lebih mudah daripada orang dewasa”. Apalagi awal-awal kemerdekaan warga Singapura sangat jorok, buang sampah, meludah, dan pipis di sembarangan tempat. Perilaku ini semua berubah setelah Lee menanamkan nilai-nilai kebajikan pada anak-anak. Selain membuat kebijakan dan penegakan hukum yang tegas. Hasilnya, warga Singapura berubah menjadi “Warga yang Bijak”.
Begitu juga dengan Tokyo, Seoul, dan kota-kota lain di dunia mengikuti apa yang disampaikan oleh anak-anak melalui Lynch. Bagaimana dengan Jakarta?






Tidak ada komentar:

Posting Komentar